Seiring
dengan berkembangnya kotif Depok, maka pada tahun 1999 Depok diresmikan menjadi
wilayah kota, yang dikembangkan menjadi pusat pemukiman, pendidikan,
perdagangan dan jasa. Pada masa-masa sebelumnya,
pertumbuhan penduduk Depok yang pesat dipicu oleh proyek percontohan perumahan
nasional berskala besar pada pertengahan tahun 1970-an.
Kini Depok menjadi kota
yang berkembang pesat, meskipun daerah ini direncanakan dihuni tidak lebih dari
800.000 jiwa pada tahun 2005, akan tetapi, pada tahun 2002 penduduk Depok sudah
mencapai 1,2 juta jiwa.
Pada saat ini
perbandingan lahan terbuka hijau dengan kawasan terbangun yang terdiri dari
permukiman, perkantoran, dan sarana kota lainnya adalah 55:45. Sampai tahun
2010, Pemerintah Kota Depok mengalokasikan 50 persen areal kota untuk kawasan
terbangun dan mempertahankan 50 persen sebagai lahan terbuka hijau. Di sekitar
lahan terbuka itu pemanfaatan untuk permukiman hanya diperbolehkan 35 hingga 40
persen. Kawasan yang ditetapkan untuk mempertahankan konservasi air adalah
Kecamatan Limo, Cimanggis, dan Sawangan.
Perencanaan
pengembangan Kota Depok lebih diarahkan untuk menjadikan kota ini sebagai
permukiman. Pemerintah Kota Depok sadar betul daerahnya menjadi pilihan bagi
pekerja yang mencari nafkah di Jakarta. Pertambahan penduduk yang relatif pesat
menyebabkan kebutuhan perumahan meningkat pula.
Menurut data tahun 1998, secara
rinci penggunaan lahan di kota Depok dengan total luasnya 20.504,54 Ha (200,29
km2) adalah sebagai berikut:
Pada tahun
2000 terdapat 227.018 unit rumah yang dibangun di Depok. Tahun 2001, penggunaan
tanah untuk perumahan seluas 6.024 hektar atau 30% dari total wilayah.. Lima tahun
kemudian diperkirakan kebutuhan rumah 40.286 unit dan tahun 2010 menjadi 90.667
unit. Lahan untuk perumahan tahun 2005 sekitar 4.351 hektar dan tahun 2010
seluas 5.277 hektar. Peruntukan perumahan tadi diharapkan mencukupi kebutuhan
penduduk yang tahun 2010 diproyeksikan 1,6 juta jiwa.
Berkaitan
dengan mobilitas di Kota Depok, antara lain persoalannya adalah tingginya
komuter sebagian besar mencari penghidupan di DKI Jakarta, terbatasnya jalan
alternatif di poros tengah kota menuju Jakarta, kurangnya penataan bangunan di ruas
jalan lintas regional terhadap jalan utama, dan pemanfaatan badan jalan untuk
perdagangan dan parkir yang menimbulkan kerawanan kemacetan lalu lintas.
Sebelum tahun
1970-an, Depok merupakan areal persawahan yang sarat dengan sistem irigasi
sehingga infrastruktur jalan yang ada sekarang mengikuti sistem pengairan ini. Beberapa
ruas jalan di Depok belum memiliki sistem drainase yang layak. Hal ini
dikarenakan perkembangan wilayah belum disertai perencanaan yang bervisi ke depan.
Luas lahan
hijau dimiliki termasuk lebih baik dibandingkan kota penyangga DKI Jakarta
lainnya. Seperti Tangerang merencanakan 40% wilayahnya berupa lahan terbukanya
dan Bekasi 30%. Sedangkan Jakarta hanya memiliki 7%.
Penanganan konservasi
air di Kota Depok saat ini dalam kondisi mengkhawatirkan. Curah hujan yang
mengguyur Kota Depok lebih kurang 40% menjadi air permukaan hal ini yang kemudian
berdampak berkurangnya volume air resapan. Setidaknya dibandingkan dengan
wilayah Bogor, curah hujan yang menjadi air permukaan berkisar 20 persen. Peningkatan
jumlah air permukaan diduga dampak dari perluasan lahan terbuka (terbangun).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar