Rabu, 28 Desember 2011

KOTA DEPOK DEWASA INI DAN PENGGUNAAN LAHANNYA


Seiring dengan berkembangnya kotif Depok, maka pada tahun 1999 Depok diresmikan menjadi wilayah kota, yang dikembangkan menjadi pusat pemukiman, pendidikan, perdagangan dan jasa. Pada masa-masa sebelumnya, pertumbuhan penduduk Depok yang pesat dipicu oleh proyek percontohan perumahan nasional berskala besar pada pertengahan tahun 1970-an.
Kini Depok menjadi kota yang berkembang pesat, meskipun daerah ini direncanakan dihuni tidak lebih dari 800.000 jiwa pada tahun 2005, akan tetapi, pada tahun 2002 penduduk Depok sudah mencapai 1,2 juta jiwa.


Pada saat ini perbandingan lahan terbuka hijau dengan kawasan terbangun yang terdiri dari permukiman, perkantoran, dan sarana kota lainnya adalah 55:45. Sampai tahun 2010, Pemerintah Kota Depok mengalokasikan 50 persen areal kota untuk kawasan terbangun dan mempertahankan 50 persen sebagai lahan terbuka hijau. Di sekitar lahan terbuka itu pemanfaatan untuk permukiman hanya diperbolehkan 35 hingga 40 persen. Kawasan yang ditetapkan untuk mempertahankan konservasi air adalah Kecamatan Limo, Cimanggis, dan Sawangan.

Perencanaan pengembangan Kota Depok lebih diarahkan untuk menjadikan kota ini sebagai permukiman. Pemerintah Kota Depok sadar betul daerahnya menjadi pilihan bagi pekerja yang mencari nafkah di Jakarta. Pertambahan penduduk yang relatif pesat menyebabkan kebutuhan perumahan meningkat pula.

Menurut data tahun 1998, secara rinci penggunaan lahan di kota Depok dengan total luasnya 20.504,54 Ha (200,29 km2) adalah sebagai berikut:


Pada tahun 2000 terdapat 227.018 unit rumah yang dibangun di Depok. Tahun 2001, penggunaan tanah untuk perumahan seluas 6.024 hektar atau 30% dari total wilayah.. Lima tahun kemudian diperkirakan kebutuhan rumah 40.286 unit dan tahun 2010 menjadi 90.667 unit. Lahan untuk perumahan tahun 2005 sekitar 4.351 hektar dan tahun 2010 seluas 5.277 hektar. Peruntukan perumahan tadi diharapkan mencukupi kebutuhan penduduk yang tahun 2010 diproyeksikan 1,6 juta jiwa.

Berkaitan dengan mobilitas di Kota Depok, antara lain persoalannya adalah tingginya komuter sebagian besar mencari penghidupan di DKI Jakarta, terbatasnya jalan alternatif di poros tengah kota menuju Jakarta, kurangnya penataan bangunan di ruas jalan lintas regional terhadap jalan utama, dan pemanfaatan badan jalan untuk perdagangan dan parkir yang menimbulkan kerawanan kemacetan lalu lintas.

Sebelum tahun 1970-an, Depok merupakan areal persawahan yang sarat dengan sistem irigasi sehingga infrastruktur jalan yang ada sekarang mengikuti sistem pengairan ini. Beberapa ruas jalan di Depok belum memiliki sistem drainase yang layak. Hal ini dikarenakan perkembangan wilayah belum disertai perencanaan yang bervisi ke depan.

Luas lahan hijau dimiliki termasuk lebih baik dibandingkan kota penyangga DKI Jakarta lainnya. Seperti Tangerang merencanakan 40% wilayahnya berupa lahan terbukanya dan Bekasi 30%. Sedangkan Jakarta hanya memiliki 7%.

Penanganan konservasi air di Kota Depok saat ini dalam kondisi mengkhawatirkan. Curah hujan yang mengguyur Kota Depok lebih kurang 40%  menjadi air permukaan hal ini yang kemudian berdampak berkurangnya volume air resapan. Setidaknya dibandingkan dengan wilayah Bogor, curah hujan yang menjadi air permukaan berkisar 20 persen. Peningkatan jumlah air permukaan diduga dampak dari perluasan lahan terbuka (terbangun).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar